kita harus patuh dan menghormati siapa?

Jumat, 06 Maret 2020

manusia

Di dunia ini, tentu kita tidak pernah bisa lepas dari pernak-pernik kehidupan. Entah itu yang menyenangkan, ataupun menyesakkan kita. Itulah dinamika dan warna kehidupan yang pasti dijelang setiap insan, siapa pun dia. Tanpanya, hidup dan kehidupan bagai terasa lesu dan hampa.

Keberadaan seseorang diuji dari seberapa besar manfaatnya bagi sesama dan lingkungannya. Islam melarang kita menjadi orang yang wujuduhu ka ‘adamihi (keberadaannya sama dengan ketiadaannya). Lebih dilarang lagi jika menjadi orang yang ‘adamuhu khoirun min wujudihi (ketiadaannya lebih baik ketimbang keberadaannya). Islam mengajarkan kita agar menjadi orang yang anfa’uhum linnas (paling bermanfaat bagi orang lain). Inilah tipologi orang yang keberadaannya menguntungkan dan dinantikan siapa saja. Saya menyebutnya "orang penting".

Setiap kita pasti ingin menjadi orang seperti itu. Minimal, keberadaan kita dinilai penting oleh lingkungan tempat kita tinggal. Teman yang dianggap penting akan menjadi tempat curhat bagi temannya. Orangtua yang dianggap penting akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Pegawai yang dianggap penting akan dipertahankan perusahaannya. Pemimpin yang dianggap penting akan didengar rakyatnya. Tokoh yang dianggap penting akan dikenang umatnya...

Karena itu, tidak usah heran jika ada orang yang ucapan dan tindakannya begitu mendapat perhatian dan sambutan dari banyak kalangan. Dia adalah "orang penting". Berbeda dengan orang yang "tidak penting", kehidupannya pun tidak terlalu dipedulikan orang.
Seseorang dlm kutipannya pernah membuat permisalan terkait ini. Menurutnya, ada lima tipologi manusia. Pertama, manusia haram, yaitu manusia yang keberadaannya sangat merugikan. Kedua, manusia makruh, yaitu manusia yang ketiadaannya lebih menguntungkan ketimbang keberadaannya. Ketiga, manusia mubah, yaitu manusia yang keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Keempat, manusia sunnah, yaitu manusia yang keberadaannya lebih menguntungkan ketimbang ketiadaannya. Kelima, manusia wajib, yaitu manusia yang keberadaannya dinilai vital sehingga harus diupayakan.

Bagaimana menjadi orang tipologi terakhir itu? Perjalanan hidup ini berangkat dari titik nol. Butuh proses keras dari bawah agar bisa menjadi from nothing to be something. Tentu sesuai kapasitas dan peran masing-masing. Dan, menjadi "orang penting" sangat terkait erat dengan kemampuan kita dalam memilih.

Dengan kata lain, kehidupan ini terlalu berharga untuk sebuah pilihan yang tidak berguna. Saya merasa kasihan kepada orang yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk berbagai hal yang tidak berguna. Lebih kasihan lagi jika kebanyakan yang dia lakukan itu justru keluar dari norma agama dan masyarakat. Orang semacam ini disebut "sampah masyarakat".

Mari kita senantiasa memacu diri untuk meraih prestasi. Keinginan saja tidak cukup, tanpa ditopang kemauan dan do'a. Ingin pandai, kita harus belajar. Ingin kaya, kita harus bekerja. Ingin sukses, kita harus berkarya. Ingin terhormat, kita harus memuliakan diri. Ingin meraih ridho Allah, kita harus taat beribadah.

Benang merahnya yakni kita harus mampu memilah antara yang penting dan tidak penting. Demikian pula dalam menjalani kehidupan ini, kita harus selalu fokus. Jangan sampai terjebak oleh persoalan-persoalan pinggiran alias tidak penting, yang kerapkali melalaikan kita dari tujuan utama dan mulia.

Oleh karena itu, sabda Rasulullah dan firman Allah di atas patut dijadikan panduan. Orang Islam yang baik harus berpaling dari segala sesuatu, tindakan atau ucapan, yang sia-sia. Para bijak bestari mengatakan, “orang penting hanya mengerjakan yang penting”.


Jadilah org yg memberi manfaat untuk orang lain 

Rabu, 26 Februari 2020

kenyataan hidup beberapa orang

Dalam hidup ini, tidak semua orang akan menyukai keberadaan kita. Kadang ada orang-orang yang akan membenci kamu, meskipun kamu tidak pernah mengenal mereka. Alasannya sederhana, kehadiran kamu mungkin menganggu atau menjadi ‘ancaman’ bagi mereka, bisa karena pekerjaan, jabatan, gengsi pada lingkungan, dan sebagainya.

Saat di fitnah, mungkin diantara kamu berprinsip tidak akan peduli dengan perkataan orang lain. Namun terkadang yang menjadi beban adalah orang-orang terdekat yang mendengar fitnah tersebut. Seperti keluarga, teman, dll. Bagi kamu mungkin masa bodo, tapi bagaimana perasaan orang-orang terdekatmu?

Ya, seperti itulah kehidupan. Ada pepatah mengatakan “semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin berhembus”. Tak peduli apa kata orang, yang penting kamu tidak seperti anggapan mereka. Satu hal yang pasti, saat ada orang yang ingin menjatuhkan dirimu, itu tandanya kamu saat ini ada diatas mereka.

Barangsiapa menyalakan api fitnah, maka dia sendiri yang akan menjadi bahan bakarnya.

Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik.
Bercerminlah untuk melihat siapa dirimu sebelum menghujat orang lain. Orang yang terpuji adalah mereka yang malu bila menerima pujian dan diam bila tertimpa fitnah ataupun ujian. Setiap benturan, ejekan, perselisihan, ancaman, fitnah, itu menyimpan potensi pendewasaan.

Memfitnah adalah hal yang tidak masuk akal. Tapi yang lebih tidak masuk akal adalah mempercayai fitnah.

Sesekali pinjamlah hati mereka yang kamu lukai dan kamu fitnah, supaya kamu tahu artinya sabar dan bagaimana ikhlas.

Kebanyakan orang memang lebih senang membicarakan kekurangan orang lain, tanpa memikirkan kekurangan pada dirinya sendiri.

Bertabayunlah atas apa yang pernah didengar, dilihat, dibicarakan, jangan langsung percaya, pastikan terlebih dahulu kebenarannya. jangan sampai menjadi fitnah.

Ketika seseorang menghina dirimu, itu adalah sebuah pujian bahwa selama ini mereka menghabiskan waktu memikirkan kamu, bahkan ketika kamu sama sekali tidak pernah memikirkan mereka.

Tersenyumlah jika kamu dihina karena itu tanda sebentar lagi kamu akan ditinggikan. Allah Maha Adil. Allah Maha Mengetahui.

Tidak perlu membela diri mati-matian, jelaskan seadanya dan biarkan waktu yang membuktikan. Sabar itu indah dan kuat. Dan fitnah adalah kesempatan untuk melatih kesabaran.

Dalam dunia yang penuh pura-pura, seseorang sibuk memisahkan dusta dari kata. Fitnah itu dimulai oleh si pembenci, dipanjangkan oleh si dhaif, dan diterima bulat-bulat oleh si bodoh. Fitnah berawal dari menduga-duga, jangan berfikir negatif dan menuduh jika belum pasti kebenarannya.

Jadilah insan yang tebar kebaikan demi kebaikan. Bukan tebar permusuhan, cacian, fitnah, amarah, dan kebencian.

Dunia adalah fitnah dan ujian, kapan pun ia akan datang atau pergi. Tetap teguhkan iman, kuatkan sabar, perbanyak syukur.

Jangan berprasangka, karena belum tentu yang kamu lihat sesuai dengan dugaanmu. Tuduhan yang salah berarti fitnah.

Kekuatanmu bukan saat dipuji, namun benturan, cacian, dan hinaan datang bertubi-tubi. Fitnah yang mematangkan hati lebih baik daripada pujian yang membuat bangga diri.

Fitnah akan merusak tiga jenis manusia, yaitu yang mengucapkan, yang mendengarkan, dan yang difitnah.

Karena yakinlah dibalik fitnah itu ada rahasia Allah yang akan mempermudah segala urusan. Fitnah adalah drama kebencian dari jiwa-jiwa kelam yang iri.

Setulus apa pun kebaikanmu kepada orang lain, akan selalu ada orang yang lebih mempercayai fitnah dan melupakan kebaikanmu.

Tidak semua tuduhan harus dibantah. Jawaban terbaik bagi fitnah adalah do'a yang tulus bagi kebaikan sang pemfitnah.

Sebagian fitnah adalah peringatan karena keburukan kita, dan yang sebagian lagi adalah tanda kebaikan hidup kita.

Hidup adalah pelajaran. Seorang yang hebat bukanlah seorang yang luar biasa, akan tetapi seorang yang terus belajar. Kalau disakiti tetap belajar, kalau di fitnah tetap belajar. Perlajaran kehidupan membuat kita lebih maju dan kuat.

Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu.

"Aku tak sebaik apa yang kau ucap, tapi aku juga tak seburuk apa yang terlintas di hatimu." ( Ali bin Abi Thalib).

#coretan27022020
#benangmerahkehidupan
#kutipanfb.
#N2M

Sabtu, 22 Februari 2020

sahabat surga

_"Aku tak pernah pergi, selalu ada di hatimu._
_Kau tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku."_

Kutipan di atas sangat dalam dan bermakna bagi kami. Untuk dapat mewujudkan hal itu bukanlah hal yang mudah, banyak lika liku kehidupan yang bagi kami begitu terkesan. Kini raga boleh saja berjauhan, namun kenyataannya hati kita penuh kerinduan, penuh  kecintaan untuk saling memiliki, melengkapi dan tetap menjaga silaturahim selamanya. Kita yang begitu erat untuk bisa bersatu  sampai detik ini dan kita pun sama-sama menyadari, begitu banyak perbedaan diantara kita, dari mulai berpendaat sampai berselisih. Tapi semua itu kita lalui, kita sama² mendapatkan pelajaran dari kata *KITA* itu sendiri.  Kita yang awalnya kenal hanya sebagai adik kelas, sebagai kakak kelas, sebagai teman, sebagai rekan kerja, sebagai teman makan, sebagai teman tidur, sebagai teman mengantri mandi bahkan ada diantara KITA hanya sebagai teman sekedar berpapasan, ngobrol hanya untuk menghangatkan suasana. Tapi semua itu disatukan dengan berbagai kebijakan dan sikap saling mengerti diantara kita, pembelajaran dari maha guru kami yang senantiasa sampai detik ini beliau selalu ada dibelakang kami, untuk menjadikan kami wanita² yang lebih baik, berguna, dan selalu bermanfaat untuk orang lain.. Terimakasih *Maha Guru* kami yang telah menyatukan si keras kepala, si pemarah, si lemah lebut, si cuek, si usil, dan lain sebagainya hingga menjadi KITA yang dengan banyak kenangan dan pelajaran hidup yang sangat luar biasa berharga. sulit di ungkapkan hanya dengan kata ataupun bait² puisi, takkan mampu melukiskan semua keindahan yang kami rasakan selama ini. 
 Semoga KITA dapat mnjdi orang² yang lebih baik dan menyebarkan kebaikan kepada KITA KITA yang lainnya.  
Walaupun kini kita tidak di atap yang sama, tidak dengan raga yang berdekatan, tetapi semoga kita senantiasa dekat dalam do'a agar terwujudnya *" Sahabat Syurga"* yang kita harapkan. Aamiin. 🤗🤗🤗💓💓💓😇😇

Selasa, 03 Desember 2019

Kedudukan seorang guru

Inilah Kedudukan Antara Murid dan Guru Dalam Islam

Inilah Kedudukan Antara Murid dan Guru Dalam Islam

Oleh: Akhmad Rofii Dimyati

ILMU, guru dan murid adalah tiga hal yang saling terkait. Ketiganya merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Ada guru jika ada murid. Begitu juga sebaliknya. Guru dan murid ada kalau ada ilmu yang diajarkan dan dipelajari. Begitulah siklus yang selalu berlaku dalam sepanjang sejarah manusia.

Memang ada istilah experience is the best teacher (pengalaman adalah guru yang baik). Ada juga kadang yang mengaku belajar secara otodidak, tanpa guru ia mempelajari ilmu. Itu memang bisa terjadi. Namun, tidak semua ilmu bisa dipelajari hanya dari pengalaman dan otodidak. Sebab itulah perlu sekiranya terlebih dahulu membahas apa itu ilmu. Bisakah orang mendapatkan ilmu? Dari mana kita bisa tahu? Dengan cara apa kita tahu? Siapa yang memberi tahu kita tentang pengetahuan? Apa pentingnya orang yang memberi tahu?

Jawaban yang akurat dari tiga pertanyaan pertama akan mengantarkan kepada kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Sebab, jika kita gagal mendapatkan jawaban yang awal-awal itu, maka kita sia-sia saja mencari jawaban-jawaban pertanyaan yang setelahnya.

Bisakah Kita Tahu?

Pertanyaan ini sebenarnya berimplikasi kepada konsepsi yang agak kompleks. Sebab, di masa lalu, tepatnya di masa Yunani Kuno, ada kelompok yang disebut kaum sophist (al-sūfasthā’iyyah) yang anti kepada ilmu. Mereka biasa dikelompokkan kepada tiga arus pemikiran besar, yaitu relativist (al-‛indiyyah), skeptik (al-‛inādiyyah) dan agnostik (al-lā adriyyah).

Kaum sofis dengan kompleksitas angan-angannya menolak pandangan bahwa manusia bisa mencapai pengetahuan yang benar. Mereka menolak kemampuan, kapasitas manusia lahir dan batin, mental dan spiritual, dengan segala bentuk dan rupanya. Mereka menganggap, karena manusia mempunyai keterbatasan maka tidak akan sampai kepada pengetahuan yang benar.

Memang benar manusia ada keterbatasan. Namun, walaupun ada ‘keterbatasan’ tapi tidak sampai berakibat menggugurkan nilai kebenaran maupun keabsahan atau validitas pengetahuan yang dicapai manusia. Memang beberapa kasus bisa saja terjadi ketidaksempurnaan itu. Namun, dalam kondisi ‘normal’, dalam keadaan manusia yang sempurna (tidak cacat) dan sehat (tidak sakit atau terganggu) fisik dan mentalnya, jasad maupun ruhnya, dan terutama sekali akal dan hati (qalb)-nya, maka pengetahuan manusia itu valid adanya.

Lalu apa yang bisa diketahui?

Memang tidak mudah mendefinisikan ilmu yang pada hari ini. Terkadang definisinya rancu akibat banyaknya nomenlaktur yang membawa kita kepada konsep yang berbeda-beda. Kita tahu ada istilah science, ada juga knowledge, ada juga ‘ilm, serta istilah-istilah lainnya. Secara jeneralnya kita sebut saja sebagai ilmu. Abaikan saja perbedaan itu, kita satukan nomenlakturnya kepada ilmu.

Kalau ingin tahu apa itu ilmu, kita bisa terlusuri dalam banyak kamus ensiklopedik Islam klasik, seperti Kasysyaf Istilahat al-Funun oleh At-Tahanawi, al-Ta’rifat oleh al-Jurjani atau juga Kasyf al-Zunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun oleh Katib Celebi. Beragam definisi ilmu dipaparkan disana. Itu menunjukkan rumitnya mendefinisikan ilmu secara spesifik. Sebab, ilmu itu bukan benda wujud seperti manusia yang dengan mudah bisa di¬-had-kan kepada al-hayawan al-natiq. Tapi ilmu merupakan wujud yang abstrak yang hanya bisa didefinisikan secara rasmiyan. Makanya definisi ilmu oleh para ulama kebanyakan berupa definisi rasm dan bukan hadd.

Untuk lebih singkatnya, ada hasil sintesis definisi ilmu dari berbagai ulama itu oleh Professor Naquib al-Attas, filosof kontemporer asal malaysia. Beliau menyatakan,

حصول معنى أو صورة الشيء في النفس ووصول النفس إلى معنى الشيء

The arrival (حصول) in the soul of the meaning of a thing or an object of knowledge and teh arrival (وصول) of the soul at the meaning of a thing or an object of knowledge.

Secara deskriptif (rasm), definisi ini menggambarkan adanya dua arah eksisnya ilmu pada manusia. Pada bagian pertama ilmu itu adalah sampainya makna sesuatu ke dalam jiwa. Artinya ilmu datang begitu saja kepada manusia. Ilmu ini kalau dalam ilmu filsafat mungkin bisa dikategorikan ilmu yang necessities atau apriori (daruriyyat). Termasuk juga ilmu ladunni. Sementara bagian kedua, ilmu itu adalah sampainya jiwa kepada makna. Ini mendeskripsikan kepada kita bahwa ilmu itu apabila jiwa kita sudah menangkap makna sesuatu objek. Dan ini perlu dicari dan diusahakan oleh manusia. Jenis ini kalau dalam filsafat disebut aposteriori (nazariyyat).

Yang perlu diperhatikan dalam definisi itu adalah ada terminologi ‘jiwa’ (nafs). Sebab kata ini sebetulnya mengirim pesan kepada kita agar kita mengenali nafs itu. Sebab dengan mengenali nafs kita akan mengenali Sang Pencipta nafs itu sendiri. Begitu kata ahli Sufi, yang senada dengan ayat-ayat al-Quran, seperti dalam Surat al-Fushshilat ayat ke 53:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS 41: 53)

Menurut Imam al-Ghazali, filosof Muslim yang tenar dengan “Tahafut al-Falasifah”-nya ini, ruh itu adalah raja dalam tubuh manusia, panglimanya adalah akal, pembantunya adalah nafsu dan prajuritnya adalah panca indera atau jasad. Sehingga, ilmu yang dicapai semestinya, ilmu wahyu menjadi porosnya dan ilmu-ilmu yang lain menjadi panglima dan pembantu-pembantu kepada ilmu wahyu.

Apa Peran Guru dalam Ilmu?

Tentu saja yang mampu mentransfer ilmu seutuhnya, baik yang level bawah (sensible knowledge), menengah (theoretical knowledge) maupun atas (spiritual knowledge), hanyalah guru sejati. Orang boleh saja berkilah bisa mendapatkan ilmu sendiri secara otodidak atau mengatakan mau belajar saja dari pengalaman (experience is the best teacher), namun yakinlah tidak akan sempurna ilmunya. Bahkan, sangat besar potensinya untuk sesat bahkan menyesatkan.

Adab Muslim pada Guru

Makanya, menarik sekiranya penulis karya ulama yang kitabnya dibaca turun temurun di pesantren, yaitu Ta’lim al-Muta’allim yang ditulis oleh Burhanuddin al-Zarnuji, menyatakan dalam syair yang dikutipnya, sebagai berikut:

أَلَا لَـنْ تَنَــالُ الْــعِـلْمَ إِلَّا بِسِــتَّةٍ سِأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاصْطِبَارٌ وَبُلْغَةٌ وَإِرْشَادُ أُسْتَاذٍ وَطُـوْلُ زَمَانِ

Kata beliau, “Engkau tidak akan mencapai ilmu itu kecuali dengan enam hal. Aku akan jelaskan kepadamu secara garis besarnya: cerdas, sungguh-sungguh, sabar, ada bekal, ada guru yang membimbing dan masa yang panjang.”

Ia jelas-jelas meletakkan peranan guru sebagai salah satu syarat mutlak mendapatkan ilmu. Jika tidak dipenuhi, maka ilmu itu tidak akan engkau capai (lan tanal).

Ini pernyataan bukan serba-serbi atau penghias bibir saja. Benar adanya bahwa tanpa guru kita akan kehilangan inti ilmu, ilmu yang hakiki mustahil didapat. Bahkan akan berpotensi besar menuju kesesatan. Makanya dalam Islam ada ilmu sanad, di mana ilmu itu mengalir melalui periwayatan sejak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam, kepada para sahabat, kepada para tabiin, kepada para tabiuttabiin, kepada para ulama dan sampailah ilmu itu kepada kita semuanya.

Guru adalah mursyid, pembimbing. Di zaman kini, di dunia akademik maupun di perusahaan, ada konsultan atau supervisor. Guru adalah mirip-mirip dengan itu, yang membing, mensupervisi, menjadi konsultan kita dalam meniti jalan mencapai ilmu mengenali kebenaran hakiki.
Apa gunanya semua itu? Gunanya agar potensi kesalahan tidak banyak dan kesuksesan lebih mudah diukurnya.

Menurut al-Zarnuji dalam Ta’lim-nya, guru ibu bapak kita dalam ilmu. Oleh karena itu guru harus kita ta’dzimi dan hormati. Bahkan saking urgennya guru, Khalifah keempat Ali r.a menyatakan:

“Aku adalah hamba orang yang mengajariku satu huruf. Jika ia mau bisa menjualku dan bisa juga memerdekakanku.”

Dengan artian, bukan berarti Sayyidina Ali r.a. ingin menjadi budaknya guru, namun saking terhormatnya seorang guru di mata Islam, maka seakan-akan kita menjadi budaknya. Walaupun tentunya tidak bisa dengan ini seorang guru semena-mena memperlakukan murid-muridnya.

Seorang guru hakiki itu sudah mempunyai seribu pengalaman, semantara murid masih sebiji sawi pengalaman. Oleh karena itu, jika kita mau menjadi orang yang betul-betul berilmu harus mempersering satu forum, satu meja, bahkan talaqqi dengan guru. Ada pepatah Arab yang senada dengan ini:

Maksudnya, seorang murid itu baru permulaan dalam menuntut ilmu, sehingga pengetahuannya masih terbatas. Sementara syeikh, guru, sudah nihayah, mempunyai pengetahui yang kompleks. Jika sering-sering murid bersama guru, tanpa perlu banyak baca buku akan mendapatkan ilmu-ilmu yang dipancarkannya, baik melalui statemen-statemennya maupun dari uraian-uraiannya yang merupakan saringan dari berbagai buku hasil bacaannya.

TidakMudah Menjadi Guru Sejati

Menjadi guru bukan sekedar mentrasfer ilmu, lalu selesai, seperti di zaman kita hari ini. Di dunia modern, guru tak ubahnya sebatas pembantu kita mentrasnfer ilmunya kepada kita. Jika demikian yang terjadi, itu namanya sekedar pengilmuan, menjadikan kita mengetahui ilmu yang diajarkan. Padahal, guru tidak semudah itu tugasnya. Guru adalah mereka yang mempunyai beban mengantarkan muridnya menjadi beradab.

Mendidik manusia beradab tidak semudah mentransfer ilmu. Sebab, menjadikan orang beradab itu berarti menjadi orang disiplin dalam dirinya, diri dengan alamnya, diri dengan Penciptanya. Dan tugas ini tidak bisa diemban kalau hanya menjadi guru kelas kacangan, kelas guru-guruan. Mesti guru sejati yang mengembannya.

Mengapa demikian? Hal itu karena yang mau dididik itu manusia, bukan hewan, bukan binatang. Manusia secara komprehensif sudah disinggung di atas, mempunyai jasad, akal dan ruh. Pendisiplinan jasad, akal dan ruh dalam sebuah proses pendidikan itu yang dinamakan ta’dib. Yakni menjadikan manusia beradab, dan menjauhkan manusia dari biadab atau bidunil adab.

Manusia yang sudah beradab pasti mengenal dan mengakui Allah Subhanahu Wata’ala. Mengenal maksudnya sudah berilmu dengan ilmu yang komprehensif, apakah ilmu yang level rendah, menengah dan tinggi, sebagaimana disebut di atas, sehingga tahu hakekat kebenaran (haqiqatul asya’) dan mengakui dengan artian ia berkomitmen menjalankan atau mengamalkan ilmunya sesuai yang diinginkan oleh Sang Pencipta sistem kedisiplinan (adab), baik dalam mikrokosmos (manusia) ataupun dalam makrokosmos (alam raya). Itulah yang disebut pendidikan sebenarnya dalam Islam. Dan itulah sebenarnya tugas guru sejati. Dari sini kita akan melihat bahwa menjadi guru sejati itu tidaklah semudah menjadi pentransfer ilmu saja.

Seorang guru sejati adalah yang fokus kepada tugas pendisiplinan (ta’dib) murid-muridnya. Ia tentu saja tidak disibukkan dengan urusan dunia, seandainya itu dalam keadaan normal. Walaupun ada kondisi di saat ini kondisi guru sangat sulit karena kurang diperhatikan oleh penguasa, sehingga guru-guru terpaksa berbisnis sebagai aktifitas sampingan. Padahal semestinya, sebagai pengemban tugas yang berat, kesejahteraan guru sudah terjamin. Sebab, ilmu yang hendak disampaikan atau murid yang hendak mencari ilmu, akan berhadapan dengan ilmu yang tak terbatas banyaknya. Sementara usia para murid terbatas. Apalagi usia guru yang biasanya jauh lebih senior. oleh karena itu, perjuangan guru memang luar biasa besarnya dan berat bebannya.Wallahua’lam.*

Penulis kandidat doktor di bidang filsafat Islam di Suleyman Demirel Universitesi, Isparta, Turkiye. tulisan disampaikan dalam Kajian PCNU Turki online di Radio PCNU Turki. 

Minggu, 01 Desember 2019

media sosial

"HIDUP TAPI MATI"*
(tersindir juga saya membacanya..)

_Bertamu, main HP…_
```Ibadah, main HP…```
_Terima tamu, main HP…_
```Bekerja, main HP…```
_Belajar, main HP…_
```Sambil makan, main HP…```
_Di tengah keluarga, main HP…_
```Kiamatlah duniamu tanpa HP…```
Kadang terlihat dua orang saling duduk berhadapan, tidak berbicara sama sekali, karena salah satu atau keduanya sibuk main HP
```Kalaupun harus bicara akhirnya tidak nyambung dan muncul sikap tidak lagi peduli.```
_Punya masalahpun bukan lagi mendatangi keluarga yang dekat, tetapi membahas di sosmed rasanya lebih 'afdhal'._
```Manusia menjadi 'ada tapi tiada 'sahabat..```
_Jasad - jasad yang telah menjadi zombie berkeliaran._
```Hidupnya hanya seputar dunia dalam ponselnya.```
_Basahnya embun pagi…Hangatnya matahari pagi…_
```Jabat erat tangan sahabat telah hilang dan diganti dengan gambar - gambar mati pada ponsel…```
_Gerak petualangan akan hebatnya bumi juga sudah diganti hanya dengan gerakan telunjuk dan jempol.._
```Hidup dalam kem4t!an itu adalah keniscayaan, tapi mati dalam kehidupan itu pilihan.```
_Maka bangunlah, hiduplah sebagaimana manusia itu hidup._
```" Saat suami/istri datang, simpan HP mu " !!!!!!!!!!```
_Saat anak bercerita, simpan HPmu !_
```Saat ibu bapak bicara, simpan HPmu !```
_Saat tamu berkunjung, simpan HPmu !_
```Saat rumah bau berantakan, simpan HPmu```
*Perhatikan duniamu dengan seksama Sebab nikmat Alloh ada di sana. Hiduplah !!*
*Engkau belum mati,, tapi sudah bertingkah seperti m4yat.*
_semoga kita tidak seperti itu😢😢😢_

Selasa, 26 Februari 2019

26/02/2019

Tetaplah terus menjadi org yg memberi manfaat untuk org lain. Tetap tersenyum dan jgn biarkan org lain mengambil senyuman itu hanya karena keegoisan semata